5 Prinsip Dasar Konstitusi soal Diskriminasi hingga Pasal Karet

[aioseo_breadcrumbs]
35ec0cd9-d293-40ed-8a0c-70b70a5aabff_169

UUD 1945 mengamanatkan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi pengawal konstitusi sehingga jutaan rakyat Indonesia mengharapkan keadilan kepada 9 hakim MK. Namun, kenali prinsip-prinsip dasar konstitusi berikut agar lebih memahami konsep bernegara.

Berikut 5 prinsip dasar konstitusi yang dirangkum dari putusan-putusan MK, Minggu (19/12/2021):

Konstitusi Tidak Statis, tapi Dinamis

Prinsip dasar konstitusi adalah tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Sehingga bisa saja MK mengubah putusannya mengikuti dinamika warganya. Alhasil putusan MK tidak statis, tapi dinamis. Hal itu tertuang dalam pertimbangan MK Nomor 25/PUU-XVII/2019.

“Secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi,” demikian pertimbangan MK.

MK mencontohkan di Amerika Serikat di kasus pemisahan sekolah warna berdasarkan warna kulit di AS. Pada 1896, MK Amerika Serikat menyatakan hal itu bukan diskriminasi atas dasar prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama). Namun pendirian itu diubah pada 1954. Supreme Court memutuskan pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit bertentangan dengan konstitusi.

“Oleh karena itu, Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan,” putus MK.

Diskriminasi

Di masyarakat, banyak perdebatan masalah soal batasan diskriminasi dan rambu-rambunya. Diskriminasi juga menjadi salah satu alasan yang paling banyak dipakai untuk menggugat sebuah UU ke MK.

MK menjawab tegas dengan rumus diskriminasi adalah:

Untuk hal yang sama tidak boleh dibedakan, untuk yang berbeda tidak boleh disamakan.

“Benar dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan diskriminasi,” demikian pertimbangan Putusan Perkara 97/PUU-XIV/2016.

Dijelaskan juga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUU- II/2004:

Diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007:

Diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

UU Buruk Tidak Selalu Berarti Inkonstitusional

Kerap masyarakat geregetan dengan UU yang dinilai jelek sehingga menjadi pasal karet. Namun, MK menyatakan dengan tegas di Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bahwa dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional.

MK juga menyatakan, sepanjang pilihan kebijakan bukan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah.

Open Legal Policy

Open legal policy merupakan kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang diatur. Dalam Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar:

1. moralitas
2. rasionalitas
3. ketidakadilan yang intolerable.

Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat ukur yang sangat sederhana, yaitu seberapa besar pembentuk undang-undang memiliki impitan kepentingan (conflict of interest) dengan norma atau undang-undang itu sendiri.

Norma Harus Dapat Diukur Secara Objektif

Di masyarakat kerap dikenal istilah ‘pasal karet’. Salah satunya Pasal 335 ayat 1 KUHP yang lebih dikenal Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan. Nah, parameter ‘tidak menyenangkan’ itu dinilai menjadi karet, tergantung siapa yang menafsirkan.

Akhirnya, MK menilai frase ‘perbuatan tidak menyenangkan’ inkonstitusional dengan argumen tidak dapat diukur secara objektif. Berikut pertimbangannya:

‘Sesuatu perbuatan lain 37 maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ tidak dapat diukur secara objektif. Seandainya pun dapat diukur maka ukuran tersebut sangatlah subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan penuntut umum semata.

Selain itu, hal tidak menyenangkan tersebut secara umum merupakan dampak dari semua tindak pidana. Setiap tindak pidana jelas tidak menyenangkan dan tidak ada dampak tindak pidana yang menyenangkan. Dengan demikian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat membedakan secara tegas (distinctive) dari tindak pidana yang lain.

Atas dasar itu, maka MK menghapus frasa ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dalam Pasal 335 ayat 1 KUHP. Jadi berbunyi:

‘Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain’.

sumber ; https://news.detik.com/berita/d-5861418/5-prinsip-dasar-konstitusi-soal-diskriminasi-hingga-pasal-karet/2

WhatsApp